KONSTRUKTIVISME DAN PEMBELAJARAN YANG DIKONDISIKAN
Amati pengetahuan yang dibangun mengenai mahluk laut dan kegunaannya untuk makanan atau dekorasi, menghindari bahasa, tanggungjawab lingkungan dan jga geografi. Teori pemelajaran yang diyakini oleh kaum konstruktiv, berfokus pada bagaimana orang menyususn arti, baik dari sudut pandang mereka sendiri, seperti Chelsea, dan dari interaksi dengan orang lain, seperti Ben.
Tidak ada teori pembelajaran tunggal dari konstruktivisme. Sebagian besar teori dalam ilmu pengetahuan kognitif meliputi beberapa macam konstruktivisme, karena teori-teori ini menyimpulkan bahwa individu-individu membangun struktur kognitif mereka sendiri, persis seperti ketika mereka mengintepretasikan pengalaman-pengalamannya pada situasi tertentu (Palincsar, 1998). Terdapat beberapa pendekatan konstruktivisme dalam ilmu pengetahuan, pendidikan matematika, psikologi, antropologi, dan komputerisasi. Walaupun banyak psikolog dan pendidik menggunkan istilah konstruktivisme, mereka seringkali memahami dengan arti yang berbeda-beda (Marshall, 1996; McCaslin & Hickey, 2001; Phillips, 1997). Satu cara ntuk mendapatkan intisari pandangan adalah membahas dua bentuk konstruksi psikologi dan sosial (Palincsar, 1998; Phillips, 1997).
Dengan menggunakan standar ini, teori proses informasi yang belakangan ini muncul adalah teori kaum konstruktivisme (Mayer, 1996). Pendekatan proses informasi dalam pembelajaran berkaiatan dengan pikiran manusia sebagai simbol proses system itu sendiri. Sistem ini mengubah sensor input menjadi struktur simbol (proposisi, gambaran, atau skema) lalu proses (mengulangi atau mengelaborasi) struktur simbol itu sehingga pengetahuan dapat diingat dan diolah kembali. Dunia luar dilihat sebagai sumber input, tapi ketika moment tersebut masuk ke dalam daya ingat, hal-hal yang penting, diasumsikan “sedang terjadi di dalam otak” individu (Schunk, 2000; Vera & Simon, 1993). Akan tetapi, sebagian psikolog percaya, bahwa proses informasi adalah “trivial constructivism” (konstruktivisme yang sepele), karena kontribusi konstruktiv individual hanya untuk membangun representasi yang akurat tentang dunia luar (Derry, 1992; Garrison, 1995; Marshall, 1996).
Kebalikannya, pandangan psikologi konstruktiv Piaget, sedikit memfokuskan kepada representasi yang “benar” dan lebih tertarik kepada pengertian yang dibangun oleh individu. Seperti yang kita lihat pada bagian 2, Piaget mengemukakan sebuah tingkatan kognitif yang semua manusia harus melewatinya. Dengan mempelajari setiap tingkat, akan membangun dan menggabungkan tahapan sebelumnya yang membuatnya lebih teratur dan adaptif, serta tidak terpaku dalam kejadian yang nyata. Piaget lebih memfokuskan pada hal-hal yang masuk akal dan konstruksi pengetahuan secara umum, yang tidak bisa secara langsung dipelajari dari lngkungan—pengetahuan seperti konservasi atau resersevibilitas (Miller, 2002).
Pengetahuan-pengetahuan ini muncul dari merefleksikan dan menghubungkan kognisi atau pikiran-pikiran kita sendiri, bukan dari pemetaan realitas eksternal. Piaget melihat lingkungan sosial sebagai sebuah faktor penting dalam pengembangan kognisi, tapi dia tidak meyakini bahwa interaksi sosial merupakan mekanisme utama dalam mengubah penikiran (Moshman, 1997). Beberapa psikologi pendidikan dan perkembangan, telah menempatkan jenis konstruktivisme Piaget sebagai “aliran pertama konstruktivisme” atau jenis konstruktivisme “solo” dan penegasannya mengenai proses pembentukan arti secara individual (DeCorte, Greer, and Verschaffel, 1996; Paris, Byrnes, & Paris, 2001).
Oleh karena teorinya sangat bergantung pada interaksi sosial dan konteks budaya dalam menjelaskan pembelajaran, kebanyakan psikolog mengklasifikasikan Vygotsky sebagai kaum konstruktivisme sosial (Palincsar, 1998; Prawat, 1996). Meskipun demikian, beberapa teoritikus mengkategorikannya sebagai kaum psikologi konstruktivisme, karena ketertarikannya dalam pengembangan individu (Moshman, 1997; Phillips, 1997). Dalam pengertian ini, Vygotsky termasuk dalam kedua kategori tersebut; konstruktivisme sosial dan psikologi konstruktivisme. Satu kelebihan teori pembejarannya adalah membuka jalan untuk kita mempertimbangkan kedua sisi tersebut; dia menjembatani kedua kategori itu. Sebagai contoh, konsep Vygotsky tentang zona pengembangan proximal—sebuah area dimana seorang anak menyelesaikan masalah dengan bantuan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mahir—dapat disinyalir sebagai tempat dimana budaya dan kognisi membentuk satu sama lain (Cole, 1995). Budaya membentuk kognisi ketika orang dewasa menggunakan unsur-unsur dan peristiwa dalam budaya (seperti bahasa, pemetaan, komputer, bayangan, atau musik) untuk mengarahkan anak menuju nilai-nilai budaya (seperti membaca, menulis, menenun, atau menari). Sedangkan kognisi membentuk budaya, dimana orang dewasa dan anak secara bersama-sama melalui pengalaman baru dan pemecahan masalah untuk menambah daftar kelompok-kelompok budaya (Serpell, 1993).
Istilah konstruktionisme terkadang digunakan untuk membahas bagaimana pengetahuan publik terbentuk. Meskipun bukanla merupakan unsur utama dalam psikologi pendidikan, ini penting untuk dijadikan bahan pertimbangan
Kesulitan yang ada dalam kondisi ini adalah ketika didorong ke dalam pengertian relativisme secara ekstrem, semua pengetahuan dan keyakinan adalah setara, karena mereka dibangun secara bersamaan. Terdapat beberapa masalah mengenai pemikiran ini bagi pendidik. Pertama, guru memiliki tanggung jawab professional untuk menegaskan nilai-nilai seperti kejujuran, dan keadilan diatas kefanatikan dan kecurangan. Keyakinan satu dan lainnya tidaklah sama. Sebagai guru, kita mengajarkan untuk belajar dengan giat. Jika pembelajaran tidak mendapatkan pengertian yang lebih mendalam dikarenakan semua pengertian dianggap sama, David Moshman (1997) menyatakan “kita bisa saja membiarkan siswa meneruskan untuk meyakini apa yang mereka yakini” (hlm.230). Lebih jauh, ini menimbulkan bahwa beberapa ilmu pengetahuan, seperti menghitung dan korespondensi tidak dibangun tetapi bersifat umum. Menimbang bahwa koresponden adalah bagian dari kemanusiaan (Gergen, 1995; Schunk, 2000).
Pandangan-pandangan berbeda dalam konstruktivisme menimbulkan beberapa pertanyaan umum dan ketidaksamaan jawaban. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak akan bisa terpecahkan, tetapi beberapa teori berbeda, cenderung untuk mendukung posisi-posisi yang berbeda itu.