KONTROVERSI SEJARAH DAN “KURIKULUM EKSPERIMEN” (Analisis Artikel)

 BAGIAN SATU : ARTIKEL

Judul Artikel : KONTROVERSI SEJARAH DAN “KURIKULUM EKSPERIMEN” Oleh: Suparman


Sumber : http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=3549 


KONTROVERSI SEJARAH DAN “KURIKULUM EKSPERIMEN”


Ada apa lagi dengan kurikulum sejarah? Itulah pertanyaan yang muncul di benak kita ketika mendengar berita terkait pelarangan beredarnya buku-buku teks sejarah untuk SMP-SMA sederajat oleh Kejaksaan Agung. Sebelum pelarangan itu dilakukan, beberapa waktu lalu kita pun sudah disuguhi pemberitaan terkait diperiksanya kepala Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) oleh Kejaksaan Agung. Pemeriksaan itu dilakukan terkait dengan beredarnya buku sejarah untuk SMP-SMA sederajat yang tidak mencantumkan kata PKI di belakang penyebutan G 30 S (Gerakan 30 September), salah satu peristiwa sejarah politik yang pernah terjadi di Indonesia tahun 1965. Pertanyaan ini wajar muncul karena memang sudah sejak lama pelajaran sejarah di sekolah sering menimbulkan kontroversi. Sebut saja di antaranya keberadaan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang mengundang reaksi. PSPB dinilai sarat dengan kepentingan politik untuk melestarikan kekuasaan Orde Baru melalui penanaman “nilai-nilai” sejarah perjuangan bangsa sejak kemerdekaan sampai masa pemerintahan Orde Baru. Ada lagi soal konflik dalam penyusunan buku babon setebal enam jilid berjudul Sejarah Nasional Indonesia, yang berakhir dengan mundurnya beberapa sejarawan penulisnya yang ingin tetap mempertahankan prinsip akademis daripada harus mengikuti kemauan penguasa. (Asvi Warman Adam, Pengantar dalam Berpikir Historis, 2006).

Kontroversi lain juga muncul ketika orang mulai mempertanyakan kembali otentisitas naskah Supersemar yang diberikan Soekarno kepada Soeharto, menjelang terjadinya peralihan kekuasaan, yang disinyalir bukan naskah asli dan isinya tidak memuat apa yang sesungguhnya dikehendaki Soekarno saat itu. Dan, beberapa waktu, hangat pula dibicarakan seputar buku Habibie yang mengundang kontroversi baru karena mengungkapkan fakta yang dibantah oleh Prabowo sebagai salah satu pelaku sejarah dalam peristiwa yang dikisahkan Habibie di dalam bukunya tersebut. Masih banyak contoh lainnya yang bisa disebutkan. Di antaranya yang agak ringan dan sempat menghiasi kontroversi pelajaran sejarah adalah soal pembabakan sejarah, soal perbedaan orientasi dalam pendidikan sejarah dan padatnya materi pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, sampai soal keaslian wajah Gajah Mada yang bertahun-tahun sempat akrab di benak kita sejak SD.

Permintaan Mendiknas Kontroversi kurikulum sejarah saat ini yang terungkap setelah adanya pemeriksaan Kejaksaan Agung terhadap Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas, dan dilanjutkan dengan pelarangan terhadap sejumlah buku-buku pelajaran sejarah menarik untuk kita cermati. Peristiwa tersebut bermula dari permintaan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo kepada Kejaksaan Agung untuk memeriksa buku-buku pelajaran sejarah tingkat SMP sampai SMA sederajat yang tidak mencantumkan kata PKI pada penyebutan G 30 S. Buku-buku itu dinilai tidak sesuai dengan kurikulum. Kejaksaan Agung sendiri menyebutkan bahwa pemeriksaan ini sebagai bagian dari prosedur untuk memastikan apakah buku-buku tersebut memiliki potensi mengganggu ketertiban umum atau tidak (Kompas, 16 September 2006).

Pertanyaannya sekarang, salahkah para penyusun buku tersebut menghilangkan kata PKI sehingga buku-buku mereka harus ditarik dari peredaran? Apakah buku-buku tersebut selama terbitnya telah menim- bulkan gangguan ketertiban umum? Jika acuannya adalah Kurikulum 2006 yang sah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006 yang telah mencantumkan kata PKI pada penyebutan G30 S, maka penyusunan buku tersebut memang patut dipertanyakan, terlepas dari kenyataan bahwa gerakan tersebut secara riil hanya menyebutkan gerakannya sebagai G 30 S (Asvi Warman Adam, Kompas, 13 Oktober 2006).

Persoalannya, tidak sedikit buku pelajaran sejarah yang terbit saat itu disusun berdasarkan Kurikulum 2004 yang memang sudah menghilangkan kata PKI. Bahkan, salah satu indikator dari kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik adalah membandingkan beberapa pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September. Salah satu buku pelajaran sejarah yang terbit di Jakarta untuk siswa SLTA kelas 3 dan disusun dengan cara mengikuti versi Kurikulum 2004 telah mengutip beberapa pendapat yang berbeda versinya satu dengan yang lain dalam mengungkap peristiwa G 30 S tersebut. Secara keilmuan buku ini cukup obyektif, artinya ditulis dengan menyertakan lebih dari satu pendapat. Akan tetapi, persoalannya menjadi semakin rumit ketika Mendiknas menyatakan bahwa Kurikulum 2004 merupakan kurikulum eksperimen buatan Pusat Kurikulum Depdiknas yang belum disahkan (Kompas, 2 Oktober 2006). Artinya, buku-buku sejarah tersebut dinilai tidak sesuai dengan kurikulum “resmi” yang berlaku saat itu dan saat ini, yaitu Kurikulum 1994 dan Kurikulum 2006. Mungkin kita patut mempertanyakan alasan para penyusun buku pelajaran sejarah tersebut, mengapa mereka sampai mengadopsi Kurikulum 2004, yang sebenarnya masih merupakan eksperimen dan belum disahkan. Akan tetapi, sebelum pertanyaan tersebut bergulir, patut pula kita ajukan pertanyaan mendasar: mengapa Kurikulum 2004 yang masih merupakan eksperimen tersebut telah diterbitkan oleh pusat kurikulum, apalagi disertai dengan kata pengantar oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas? Bagaimana mempertanggungjawabkan kurikulum eksperimen yang dinyatakan belum sah dan terdapat kekeliruan tetapi sudah dilaksanakan di sejumlah sekolah? Dalam kaitan ini, bukankah Mendiknas wajib mempertanggungjawabkannya kepada publik atas kesalahan eksperimen yang dilakukan pusat kurikulum yang secara struktural berada di bawah tanggung jawabnya? Perlu diingat, eksperimen terhadap kurikulum berarti melakukan eksperimen terhadap jutaan anak-anak Indonesia! Terlalu berlebihan Saat ini sejumlah buku sejarah di tingkat SMP-SMA sederajat yang ditulis berdasarkan Kurikulum 2004 telah dilarang oleh Kejaksaan Agung dan wajib ditarik dari peredaran. Sebagai pihak yang berwenang, tentu kita dapat memaklumi tindakan Kejaksaan Agung meneliti dan menyelidiki buku-buku yang “dianggap” dapat mengganggu ketertiban umum. Hanya saja, kekhawatiran akan terjadinya gangguan ketertiban umum dalam konteks pembelajaran sejarah tentu dapat dikatakan berlebihan. Sebab, kenyataannya materi sejarah tentang peristiwa tahun 1965 yang diajarkan oleh guru-guru sejarah sebenarnya tetap mengacu pada Kurikulum 1994.

Penarikan buku di toko-toko buku tentu tidak berdampak secara psikologis. Akan tetapi, penarikan buku secara tiba-tiba pada anak didik tentu akan berdampak psikologis. Anak akan bertanya, apa yang sedang terjadi pada negara ini sehingga buku sejarah yang sedang mereka pelajari saat ini harus “diambil” dari tangannya. Lalu, bagaimana dengan biaya penggantian buku yang harus mereka beli ulang? Akankah ditanggung oleh pemerintah? Kebijakan Kurikulum 2004 yang berlanjut pada penerbitan buku sejarah berdasarkan “kurikulum eksperimen” tersebut, dan pelarangannya oleh Kejaksaan Agung akan menjadi kontroversi baru dalam dunia pendidikan sejarah di Indonesia.

Tampaknya kurikulum eksperimen inilah yang dinilai oleh sejarawan Asvi Warman Adam sebagai kebijakan pendidikan yang dapat membingungkan masyarakat, murid, dan tentu guru sejarah. Selain membingungkan, bisa jadi makin menjauhi usaha mencerdaskan kehidupan bangsa (Adapted from KOMPAS, March 26, 2007) [yap/pr-03/2007] Suparman adalah Guru Sejarah di SMA, Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta


BAGIAN DUA: ANALISIS ARTIKEL


A. PENGANTAR

Artikel ini memaparkan tentang keadaan kurikulum sejarah di Indonesia. Pembahasan diawali dengan sikap bertanya terhadap apa yang terjadi belakangan ini, yaitu pelarangan beredarnya buku-buku sejarah tingkat SMP dan SMA oleh Kejaksaan Agung. Tindakan demikian merupakan lanjutan dari banyaknya kontroversi pada materi sejarah yang dijadikan pedoman bagi siswa di sekolah. Kontoversi yang disajikan sekitar peristiwa tahun 1965, khususnya pembubuhan kata PKI setelah G 30 S yang tidak dilakukan. Dengan kata lain, tidak memuat tulisan “G-30-S/PKI” , melainkan hanya menulis “G-30-S” (tanpa PKI) pada tulisan peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Indonesia. Kontroversi demikian, dikhawatirkan pihak pemerintah akan menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan karena memiliki potensi mengganggu ketertiban umum. Untuk memastikannya, maka Kejaksaan Agung menindaklanjuti dengan penyitaan sekaligus pembakaran buku tersebut . Menurut penulis artikel, kontroversi ternyata bukan sebatas G 30 S, akan tetapi ada banyak, seperti SP 11 Maret (Supersemar), Peristiwa Madiun 1948, wajah Gajah Mada, Sejarah peralihan kekuasaan jaman Presiden Habibi, dan banyak ditemui pula dalam pelajaran PSPB.

Kontoversi tersebut masih berlangsung, dan kurikulum 2004 serta 2006 (KTSP) memberikan kebebasan mengungkapkan beberapa versi. Bahkan, salah satu indikator dari kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik adalah membandingkan beberapa pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September. Beberapa buku mengikuti alur berpikir demikian. Dan, penulis artikel menilai bahwa secara keilmuan buku ini cukup obyektif, artinya ditulis dengan menyertakan lebih dari satu pendapat. Namun, pemerintah berkeinginan berbeda. Kontroversi kurikulum sejarah terungkap setelah adanya pemeriksaan Kejaksaan Agung terhadap Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas, dan dilanjutkan dengan pelarangan terhadap sejumlah buku-buku pelajaran sejarah.

Peristiwa tersebut bermula dari permintaan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo kepada Kejaksaan Agung untuk memeriksa buku-buku pelajaran sejarah tingkat SMP sampai SMA sederajat yang tidak mencantumkan kata PKI pada penyebutan G 30 S. Artinya, buku-buku sejarah tersebut dinilai tidak sesuai dengan kurikulum “resmi” yang berlaku saat itu dan saat ini, yaitu Kurikulum 2004 dan Kurikulum 2006. Sebagai penutup artikelnya, dijelaskan bahwa kebijakan Kurikulum 2004 yang berlanjut pada penerbitan buku sejarah berdasarkan “kurikulum eksperimen” tersebut, dan pelarangannya oleh Kejaksaan Agung akan menjadi kontroversi baru dalam dunia pendidikan sejarah di Indonesia. Tampaknya kurikulum eksperimen inilah yang dinilai oleh sejarawan Asvi Warman Adam sebagai kebijakan pendidikan yang dapat membingungkan masyarakat, murid, dan tentu guru sejarah. Selain membingungkan, bisa jadi makin menjauhi usaha mencerdaskan kehidupan bangsa


B. KELEBIHAN ARTIKEL

Artikel ini cukup menarik untuk dibaca karena menggunakan bahasa yang mudah dicerna. Artikel ini juga mudah diperoleh dimana saja dan kapan saja, ketika mengakses internet. Selain tersebar melalui internet , data penulisan dapat dipertanggungjawabkan. Pertama, tulisan ini dibubuhi tahun terbit, kedua, kutipan diberikan sumbernya, dan ketiga, kerangka berpikir yang dibangun penulis artikel didukung oleh ahli lainnya, terutama pada bidang sejarah. Dengan demikian, apa yang diungkapkan dalam artikel ini memiliki sandaran yang cukup kuat. Artikel ini tidak hanya sekedar kumpulan data, akan tetapi lebih dari itu. Pembaca budiman akan disuguhi pertanyaan-pertanyaan kritis selama menelusuri tiap-tiap kalimatnya. Sehingga, siapa yang membaca akan mendapat point belajar berpikir: Pertanyaan terkait dalam hal ini dapat dicontohkan sebagai berikut: mengapa Kurikulum 2004 yang masih merupakan eksperimen tersebut telah diterbitkan oleh pusat kurikulum, apalagi disertai dengan kata pengantar oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas?. Cara berpikir demikian adalah nilai plus sebuah tulisan karena mampu memberikan pembelajaran yang baik, terutama dalam menemukan masalah dalam realitas yang ada.

Selanjutnya, dengan kenyataan itu, pembaca pada dasarnya dihadapkan kepada dua kepentingan, yaitu keinginan penguasa dengan keputusannya untuk pelarangan dan objektifitas keilmuan dengan usaha mengedepankan pemikiran. Artinya, tulisan ini sebenarnya mengajak pembaca untuk memutuskan suatu pendapat, bahkan tindakan, khususnya selaku guru sejarah di sekolah. Pada satu sisi, artikel ini dapat menjadi pengilhaman dan motivasi bagi guru sejarah untuk lebih cerdas, arif dan bijak dalam pemilihan sumber belajar, terutama dengan mengusung nasionalisme Indonesia yang ditopang nilai-nilai ilmiah. Sedangkan, di sisi yang lain, dalam ketidakpastian suatu kondisi, pendidik diajak untuk lebih tepat dalam mengambil tindakan agar tidak berdampak buruk pada diri siswa, seperti yang disinyalir penulis artikel: Penarikan buku di toko-toko buku tentu tidak berdampak secara psikologis. Akan tetapi, penarikan buku secara tiba-tiba pada anak didik tentu akan berdampak psikologis. Anak akan bertanya, apa yang sedang terjadi pada negara ini sehingga buku sejarah yang sedang mereka pelajari saat ini harus “diambil” dari tangannya. Lalu, bagaimana dengan biaya penggantian buku yang harus mereka beli ulang? Akankah ditanggung oleh pemerintah?. Memperhatikan lebih jauh apa yang terkandung dalam artikel ini, terlihat kandungan nilai-nilai yang umumnya ada dalam sebuah pemahaman tulisan sejarah. Artikel ini, selain mengajak untuk mengasah kecerdasan kognitif pembaca, juga banyak memberikan makna afektif, sebuah kesadaran sekaligus penyadaran.


C. KEKURANGAN ARTIKEL

Kontroversi kurikulum yang dipaparkan sepanjang artikel ini diwujudkan dengan dilarang dan disitanya buku-buku pelajaran sejarah pada tingkat SMP dan SMA. Namun, keputusan resminya tidak dicantumkan sama sekali, sehingga artikel kehilangan salah satu kajian utama secara de jure. Seharusnya keputusan tersebut dicantumkan, selain sebagai penjelas, menurut Rais, kaidah ini mendidik diri kita agar jujur dalam menulis . Terkait dengan ranah de jure tersebut yang kemudian menghadirkan protes dikalangan masyarakat, ditegaskan bahwa penyitaan buku sejarah kurikulum 2004 didasarkan pada Surat Keputusan Kejaksaan Agung Nomor 019/A-JA/10/ 2007 tanggal 5 Maret 2007 tentang pelarangan buku sejarah tahun 2004 dan Surat Perintah Kejaksaan Agung Nomor Ins. 003/A-JA/03/ 2007 tentang instruksi penarikan buku sejarah kurikulum 2004 dari wilayah Indonesia . Namun, dalam artikel tidak diberitahukan tentang urutan waktu antara penetapan Kurikulum 2004, kemudian Kurikulum 2006 (KTSP) yang sebenarnya dapat menjelaskan secara lebih baik kenapa surat keputusan tersebut menimbulkan banyak kontra di masyarakat. Oleh karena itu, seharusnya dijelaskan dengan menggunakan alur kronologis.

Penjelasannya adalah sebagai berikut. Pertama. Kurikulum 2004 mulai diberlakukan oleh pemerintah sejak tahun pelajaran 2004/2005 , tepatnya mulai bulan Juli 2004. Kurikulum yang belum ada ketetapan hukumnya itu, bertahan sampai tahun pelajaran 2006/2007, tepatnya sejak bulan Juli 2006. Kedua, ketetapan penerapan KTSP dikeluarkan pada semester II (bulan Juni-Juli) tahun 2006 dengan dikirimkannya CD yang memuat isi kurikulum ke sekolah-sekolah Ketiga, dalam kurun waktu dua tahun tersebut, buku yang dicetak berdasarkan kurikulum 2004. Keempat, pelarangan dan pembakaran buku sejarah untuk tingkat SMP dan SMA terjadi pada bulan Maret tahun 2007, yakni berlangsung pada semester II setelah diterapkannya Kurikulum 2006 (KTSP). Kelima, praktis, buku yang sudah jatuh terbit, masih mengikuti kebijakan Kurikulum 2004. Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat ketetapan KTSP yang diberlakukan bulan Juni-Juli 2006 tidak mampu menampung pemenuhan sumber belajar, sehingga buku sejarah yang digunakan mengacu pada terbitan terbaru dan itu masih merujuk pada kurikulum 2004. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya penulis serta penerbit yang bisa mencetak buku baru sesuai kurikulum 2006 dalam waktu sebulan, dan dapat digunakan dalam proses pembelajaran sejak Juli 2006.

Kekurangan demikian yang tidak dijelaskan dalam artikel tersebut, semakin mengangga ketika tidak ada solusi yang ditawarkan penulis artikel menyangkut kontroversi teks dalam buku sejarah di tingkat SMP dan SMA. Ketiadaan solusi inilah yang melatarbelakangi munculnya multitafsir yang tidak sesuai dengan fakta sejarah, dan kepentingan pendidikan nasional. Bahkan, kurikulum yang dilahirkan oleh BNSP yang merupakan bagian dari sebuah dengar pendapat dari berbagai pihak, menjadi bermasalah pada bagaian implementasinya, dan bercampur dengan urusan politis serta hukum, dengan ditariknya buku sejarah tersebut. Memperhatikan kenyataan ini, Harsono berpendapat, seharusnya persoalan kurikulum merupakan kewenangan Departemen Pendidikan Nasional, dan bukanlah urusan Kejaksaan Agung. Penindakan terhadap buku yang dianggap bermasalah oleh pemerintah, seyogyanya melalui proses pengadilan, bukan dengan pelarangan. Kontroversi sekitar multitafsir materi pelajaran sejarah di sekolah, menurut Adam, seharusnya ditindaklanjuti dengan segera menyelesaikan Sejarah Nasional Indonesia (SNI), sehingga perdebatan ini bisa diakhiri . Buku standar yang ditulis secara nasional ini diharapkan menjadi acuan utama (buku babon) dalam memahami sejarah kehidupan berbangsa. Selanjutnya pada bagian penerapan di sekolah, seharusnya apa yang diajarkan di depan kelas itu, adalah yang disebut accepted history, sejarah baku yang sedikit sekali dipertengkarkan orang. Dengan kata lain, apa yang diajarkan guru di depan kelas adalah apa yang disebut “kepastian sejarah”. Jadi, orang tak perlu lagi mempertengkarkan.

Menurut Hasan , sejarah di sekolah itu bukan sejarah murni. Artinya, terdapat upaya untuk membangun sikap dan mentalitas bangsa. Misalnya dalam pandangan resmi pemerintah, PKI terlibat. Jangan sampai sejarah menimbulkan kebencian karena masa lalu dianggap musuh. Ketika orde lama jatuh, setiap hal yang berkaitan dengan orde lama dihindari, ketika orde baru runtuh, setiap hal yang berkaitan dengan orde baru dijauhi. Kisah sejarah mungkin gelap, atau cemerlang, dan justru dari sana kita belajar, bukan berarti memusuhinya. Orang yang bersalah dan mendapat hukuman tidak perlu diungkit terus menerus. Apalagi sampai diwariskan ke generasi penerusnya. Namun tidak lantas membuat kita menjadi tidak waspada. Kewaspadaan yang hadir seyogyanya tidaklah berlebihan. Menurut Sjamsudin, tidak masalah mengetengahkan isu-isu kontroversial dalam sejarah bangsa kepada siswa, justru akan membuat mereka menjadi kritis, hanya saja perlu dibuat arahan . Guru harus berhati-hati dan berupaya untuk menyesuaikan materi dengan tingkat pemikiran siswa. Siswa sekolah dasar dan menengah pertama biasanya berpikir konkret, jadi diupayakan bagaimana mengemas materi agar sesuai dengan perkembangan mereka yang berbeda dari cara berpikir siswa SMA, apalagi logika berpikir mahasiswa.

Dengan demikian diharapkan, pelajaran sejarah di sekolah sebagai pelajaran dengan makna dinamis yang senantiasa membuka upaya-upaya penelitian baru, khususnya sebagai wahana proyek (belajar) penelitian bersama anak didik. Dalam kerangka inilah, dibangun usaha re-paradigmatisasi sejarah yang berarti membangun cara pandang baru atau peninjauan kembali atas berbagai pengalaman-pengalaman sejarah yang cenderung dimitoskan. Penjabaran di atas tersebut, tidaklah disadari penulis artikel. Hal demikian disebabkan tidak ada batasan yang jelas antara Kurikulum Sejarah dengan Kurikulum Pendidikan Sejarah. Untuk yang disebutkan pertama berlaku untuk jenjang universitas, yang umumnya disebut sebagai sejarah murni. Sedangkan yang kedua, dipergunakan bagi lulusan sarjana yang nantinya bertindak sebagai guru sejarah di sekolah. Dengan logika sederhana ini, maka dapat dikatakan artikel yang mengupas sebuah kontroversi, merupakan sebuah artikel yang isinya pun kontroversi. Satu pemahaman ditafsirkan oleh dua item yang berbeda, yang satu untuk kepentingan ilmu, apa adanya, dan satunya lagi, ilmu digunakan untuk pendidikan sebagai bagian kepentingan suatu bangsa. Diduga, tidak adanya pembatasan yang jelas tersebut, dilatarbelakangi miskinnya literatur tentang pengembangan kurikulum pendidikan sejarah.

Kenyataan demikian dapat dipahami karena sejauh ini, belum ada satu buku yang secara khusus membahas tentang kurikulum pendidikan sejarah dengan kasus di Indonesia, baik itu tingkat sekolah dasar, menengah, maupun perguruan tinggi. Referensi terkait pengembangan kurikulum pendidikan sejarah di Indonesia, hanya dibahas dalam bab, bahkan sub bab dalam buku yang bertemakan Metodologi Sejarah dan Pendidikan Sejarah. Sedikit pada tulisan artikel di media masa. Ilmuan yang termasuk menulis didalamnya adalah I Gde Widja, Asvi Warman Adam, Moh. Ali, Kuntowijoyo, Bambang Purwanto, Diana Nomida M, Sartono Kartodirjo, Isjoni, Hamid Hasan, Hariyono, Sidi Gazalba, Helius Sjamsudin, Taufik Abdullah, dan Anhar Gonggong. Keadaan ini, sudah seharusnya menjadi perhatian utama, terlebih penulis artikel sebagai bagian dari warga akademisi, yang sudah semestinya memberikan pemahaman sekaligus pencerahan bagi khalayak umum diluar wilayah disiplin ilmu sejarah maupun pendidikan sejarah. Dengan kata lain, seharusnya, penulis artikel menjelaskan bahwa yang dibahasnya adalah kurikulum pendidikan sejarah, seperti yang dipaparkan Hasan. Beliau menyatakan bahwa kurikulum sejarah di sekolah bukanlah sejarah murni karena harus disesuaikan dengan persatuan dan kesatuan untuk membentuk sikap bangsa. Siswa diarahkan agar dekat dengan lingkungannya, diarahkan pada sejarah lokal. Perbaikan kurikulum tidak mengubah ide dasarnya. Perubahan besar justru dalam mengorganisasikan kembali antara standar kompetensi dengan kompetensi dasar dan indikatornya. Disini menuntut adanya kreativitas guru yang lebih luas. Guru sejarah harus inovatif dalam mengembangkan kurikulum. Artinya, ketika artikel ini dimuat dalam koran berskala nasional pada 26 Maret 2007, dimana telah diterapkannya kurikulum baru, KTSP, penulis artikel yang juga selaku guru sejarah seharusnya memberikan apresiasi terhadap kurikulum tersebut, karena kandungan kurikulumnya menciptakan suasana ilmiah sekaligus nasionalis. Kontroversi G30SPKI tidak hanya sebatas pembubuhan 3 huruf setelah G30S yang kemudian terselesaikan, akan tetapi tersajikan berbagai versi terhadap tafsiran peristiwa tahun 1965, yang amat memungkinkan mengajak anak didik untuk berpikir kritis sekaligus menilai. Penjabaran di sekolah oleh guru sejarah terhadap standar kompetensi, kompetensi dasar, sampai dengan indikator yang sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, kemudian menemukan berbagai kendala.

Selama ini, guru hanya melaksanakan apa yang digariskan dalam uraian kurikulum, tapi tidak demikian pada kurikulum sekarang ini. Salah satu makna didalamnya ialah jangan masih terkungkung sebagai “guru sejarah yang birokratif”, yang hanya mengikuti apa yang diinstruksikan atasan, akan tetapi, dengan KTSP haruslah menjadi “guru sejarah yang profesional”, yakni guru yang menentukan, berpikir kreatif, dan kontekstual. Dengan demikian, seharusnya kurikulum sejarah untuk sekolah, diwujudkan menjadi pembelajaran yang bermakna, tidak sekedar hafalan belaka. Menurut Sardiman, seharusnya pembelajaran sejarah yang bermakna lebih menanamkan kesadaran sejarah, yakni belajar masa lampau untuk membangun hari depan lebih baik. Sejarah bukan selalu identik masa lalu. Kita harus menarik materi sejarah dalam dimensi kekinian dengan mendekatkan materi pembelajaran dengan kebutuhan dan kedekatan masalah peserta didik.

Guna mencapai harapan demikian, pembelajaran sejarah di sekolah dapat dilakukan dengan berbagai metode. Beberapa metode tersebut ialah CTL (Contextual Teaching and Learning), inquiry learning, dan cooperative learning. Dengan metode ini, anak didik diajak untuk aktif terlibat dalam melihat dan memaknai kehidupan nyata melalu pembelajaran sejarah. Pengalaman otentik yang diperolehnya dengan menggali masa lalu, semakin mendekatkan dirinya terhadap berbagai masalah ketika menganalisis sejarah yang sifatnya lokal, dan melekatlah pengalaman belajarnya tersebut sehingga menjadi bermakna dalam dirinya. Namun banyak kesulitan yang dihadapi guru dalam mewujudkan pembelajaran sejarah bermakna. Selain minimnya sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah, perhatian pihak sekolah rata-rata minim terhadap inovasi pembelajaran sejarah. Penjabaran kurikulum pada satuan pendidikan seperti inilah yang sama sekali tidak disinggung dalam artikel, padahal kurikulum adalah semua pengalaman yang dengan sengaja disediakan oleh sekolah bagi para siswanya untuk mencapai tujuan pendidikan.


BAGIAN TIGA : PENUTUP

Artikel yang membahas tentang kontroversi kurikulum adalah jauh dari ideal. Seharusnya diberikan penjabaran yang memadai tentang pemahaman: kurikulum sejarah dan kurikulum pendidikan sejarah, sehingga kejelasan pembahasan dapat lebih terfokus. Selain itu penulis artikel sudah semestinya mengikuti perkembangan terbaru, terkait apa yang disebutnya sebagai sebuah kontroversial, karena masalah tersebut sudah terselesaikan, bahkan ketika tulisan artikel ini dimuat di surat kabar.

Dalam kerangka ini, artikel tersebut kontarproduktif. Isu yang disajikan seharusnya bergeser kepada tahap implementasi di satuan pendidikan, bukan hanya terbatas kepada sumber belajar yang tidak sesuai kurikulum resmi versi pemerintah. Hal ini mengingat, bahwa dalam KTSP dituntut semangat kreativitas. Namun demikian, kealpaan tersebut dapat dipahami karena di Indonesia masih miskin sumber kajian tentang kurikulum pendidikan sejarah, yakni pembelajaran sejarah di sekolah yang ilmiah sesuai dengan kepentingan akan kebutuhan keberlanjutan suatu bangsa, dalam hal ini adalah nasionalisme NKRI.


Daftar Rujukan


AJI (Aliansi Jurnalis Independen), STOP Pembakaran dan Pemusnahan Buku Sejarah, 2007, (http://www.ajiindonesia.org/index.php?fa=alert.read&id=MjMy).

Andreas Harsono, Petisi Komunitas Sejarah Indonesia, 2007, (http://andreasharsono.blogspot.com/2007/03/petisi-komunitas-sejarah-indonesia.html).

Anhar Gonggong, Sejarah Kita Cuma Romantika, 1999, (http://www.tempo.co.id/harian/wawancara/waw-anhargonggong.html).

Asvi Warman Adam, Perubahan Kurikulum Sejarah Jangan Hanya Materi, 2005, (http://www.suarapembaruan.com/News/2005/12/02/).

Hamid Hasan dalam: UPI, Menyingkap Kontroversi Kurikulum Sejarah 2004, 2006, (http://isolapos.upi.edu/arsip/naskah.php?edisi=37&halaman=5).

Jacub Rais, Tata Cara Penulisan Baku Daftar Acuan (References) dan Daftar Pustaka (Bibliography) dalam Makalah Ilmiah, Thesis, dan Disertasi, Tanpa Tahun, (http://mit.biotrop.org/files/TATA%20CARA%20PENULISAN%20BAKU.pdf).

Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004).

Uny.ac.id, KTSP Sejarah Sangat Kacau, 2007, (http://www.uny.ac.id/home/data.php?m=951da6b7179a4f697cc89d36acf74e52&i=1&k=512)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama